UU Media Sosial Indonesia 2025: Antara Regulasi Digital dan Kebebasan Ekspresi

UU Media Sosial

Lahirnya UU Media Sosial 2025

Pada pertengahan 2025, DPR bersama pemerintah resmi mengesahkan UU Media Sosial Indonesia 2025. Undang-undang ini diklaim sebagai upaya negara untuk mengatur ruang digital yang semakin kompleks: mulai dari hoaks, ujaran kebencian, hingga disinformasi politik.

Namun, sejak awal pembahasan, UU ini menuai pro dan kontra. Pemerintah menegaskan regulasi ini penting untuk menjaga ruang digital tetap sehat. Di sisi lain, masyarakat sipil, aktivis, dan sebagian akademisi menilai UU ini bisa menjadi alat pembatasan kebebasan berekspresi.

Dengan lebih dari 210 juta pengguna internet dan 180 juta pengguna aktif media sosial, Indonesia adalah salah satu negara paling digital di dunia. Tidak heran, UU ini akan berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat, politik, dan demokrasi.


Isi Pokok UU Media Sosial 2025

UU Media Sosial berisi sejumlah aturan kunci:

1. Registrasi platform
Semua platform media sosial wajib mendaftar ke Kementerian Kominfo dan membuka kantor perwakilan di Indonesia.

2. Moderasi konten
Platform diwajibkan menghapus konten yang dianggap mengandung hoaks, SARA, atau ujaran kebencian dalam waktu 24 jam setelah dilaporkan.

3. Kewajiban transparansi algoritma
Platform harus melaporkan sistem algoritma yang digunakan untuk rekomendasi konten, agar tidak menimbulkan bias politik atau diskriminasi.

4. Perlindungan data pribadi
Pengguna dijamin memiliki hak atas data mereka, termasuk hak untuk menghapus akun secara permanen.

5. Sanksi
Platform yang melanggar bisa didenda hingga triliunan rupiah atau diblokir. Sementara pengguna bisa dikenai sanksi pidana jika terbukti menyebarkan konten yang dilarang.


Pro dan Kontra

UU ini segera memicu perdebatan sengit.

Pihak yang mendukung berargumen:

  • Media sosial selama ini sering digunakan untuk menyebarkan hoaks yang memicu kerusuhan.

  • Regulasi penting agar ruang digital tidak dipenuhi ujaran kebencian.

  • Perlindungan data pribadi lebih terjamin dengan UU baru.

Pihak yang menolak menilai:

  • Definisi “konten berbahaya” terlalu luas dan bisa digunakan untuk membungkam kritik.

  • Proses take down 24 jam memberi kekuasaan besar pada pemerintah.

  • Risiko kriminalisasi terhadap aktivis dan jurnalis semakin besar.

Kontroversi semakin memanas ketika beberapa konten kritik pemerintah mulai hilang dari platform tak lama setelah UU berlaku. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa UU Media Sosial bisa menjadi alat politik.


Dampak terhadap Kebebasan Ekspresi

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Media sosial selama ini menjadi ruang utama bagi masyarakat untuk menyuarakan opini, melakukan kritik, dan mengorganisasi gerakan sosial.

Gerakan #IndonesiaGelap 2025, misalnya, sebagian besar lahir dari Twitter (X) dan TikTok. Tanpa media sosial, mobilisasi massa mungkin tidak akan sebesar itu.

Dengan UU Media Sosial baru, banyak aktivis khawatir kebebasan berekspresi akan terkikis. Ketakutan muncul jika kritik dianggap hoaks atau ujaran kebencian. Hal ini bisa membuat masyarakat melakukan sensor diri (self-censorship), mengurangi vitalitas demokrasi digital Indonesia.


Perspektif Pemerintah

Pemerintah menegaskan UU Media Sosial bukan untuk membungkam kritik, melainkan menjaga keamanan nasional. Menurut Kementerian Kominfo, maraknya hoaks saat Pemilu 2024 dan protes 2025 membuktikan perlunya regulasi ketat.

Mereka berargumen bahwa UU ini justru melindungi masyarakat dari manipulasi digital, deepfake, dan disinformasi politik yang bisa merusak stabilitas.

Pemerintah juga menyoroti praktik global. Uni Eropa sudah memiliki Digital Services Act, sementara Amerika Serikat sedang membahas regulasi serupa. Indonesia tidak ingin tertinggal.


Reaksi Publik dan Aktivis

Publik terbagi. Sebagian masyarakat mendukung regulasi karena jengah dengan banjir hoaks di media sosial. Namun, banyak aktivis, LSM, dan jurnalis menolak keras.

  • Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai UU ini bisa digunakan untuk menekan kebebasan pers digital.

  • Lembaga HAM menyebut UU ini berpotensi melanggar hak asasi manusia jika digunakan untuk membungkam kritik politik.

  • Influencer digital khawatir kreativitas mereka terbatas karena takut dianggap melanggar aturan.

Gelombang tagar #TolakUUMedsos sempat menjadi trending di Twitter. Ribuan mahasiswa turun ke jalan menuntut revisi UU.


Peran Platform Media Sosial

Platform global seperti Meta, TikTok, dan X menghadapi dilema. Mereka harus patuh pada UU agar bisa tetap beroperasi di Indonesia, tetapi juga khawatir kehilangan reputasi global jika dianggap tunduk pada regulasi represif.

Beberapa platform mengumumkan akan meningkatkan transparansi, termasuk menambahkan label “konten sensitif” dan memperluas tim moderasi lokal. Namun, implementasi aturan ini masih menjadi perdebatan.


Tantangan Implementasi

Ada beberapa tantangan besar dalam implementasi UU Media Sosial:

1. Definisi konten berbahaya
Masih kabur dan multitafsir. Risiko penyalahgunaan sangat besar.

2. Kapasitas moderasi
Dengan jutaan konten baru setiap hari, apakah realistis platform bisa memoderasi dengan cepat dan adil?

3. Keadilan hukum
Kekhawatiran muncul bahwa UU ini hanya menjerat rakyat biasa, sementara buzzer politik dibiarkan bebas.

4. Kesenjangan digital
Masyarakat di daerah masih kesulitan mengakses literasi digital. Regulasi tanpa edukasi bisa menimbulkan kesalahpahaman.


Harapan ke Depan

Meski kontroversial, UU Media Sosial bisa menjadi momentum perbaikan jika dijalankan dengan benar.

Harapan utama masyarakat adalah:

  • Regulasi benar-benar menargetkan hoaks berbahaya, bukan kritik politik.

  • Ada mekanisme banding yang transparan bagi konten yang dihapus.

  • Edukasi literasi digital diperluas agar masyarakat bisa lebih cerdas menggunakan media sosial.

  • Pemerintah konsisten menjunjung demokrasi digital, bukan menggunakannya untuk kepentingan politik jangka pendek.

Jika hal ini terwujud, UU Media Sosial bisa menjadi alat untuk menciptakan ruang digital yang sehat tanpa mengorbankan kebebasan.


Kesimpulan dan Penutup

Ringkasan

UU Media Sosial Indonesia 2025 lahir dengan tujuan mengatur ruang digital yang semakin kompleks. Namun, perdebatan sengit muncul karena risiko pembatasan kebebasan berekspresi.

Langkah Selanjutnya

Tantangan terbesar adalah implementasi. Pemerintah harus memastikan UU dijalankan secara adil, transparan, dan tidak digunakan sebagai alat politik. Dengan keseimbangan tepat, Indonesia bisa menjadi contoh demokrasi digital di Asia.


Referensi