Categories
Politik

Dampak Tarif AS 19%: Ekspor Udang RI Turun, 1 Juta Pekerja Terancam

Pendahuluan

Kabar kurang menggembirakan datang dari sektor perikanan Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat resmi menaikkan tarif impor udang dari Indonesia sebesar 19%, kebijakan yang langsung memukul ekspor RI dan mengancam nasib lebih dari satu juta pekerja di sektor ini. Di tengah upaya pemulihan ekonomi pasca pandemi dan ketatnya kompetisi ekspor global, langkah proteksionis AS ini menimbulkan kekhawatiran besar.

Kebijakan ini diumumkan oleh Departemen Perdagangan AS pada awal Agustus 2025, dan berlaku terhadap udang beku asal Indonesia yang masuk ke pasar Amerika. Sebelumnya, Indonesia termasuk negara dengan tarif impor rendah berkat status negara berkembang dan hubungan dagang yang baik. Namun kini, segalanya berubah drastis.

Kita akan mengulas lebih dalam dampak kebijakan ini, mulai dari kerugian ekspor, efek domino terhadap sektor tenaga kerja, hingga bagaimana Indonesia bisa menyikapi strategi ekspor ke depan.


Dampak Langsung pada Ekspor Udang Indonesia

Kenaikan tarif ini secara langsung memangkas daya saing udang Indonesia di pasar Amerika. Sebagai pasar tujuan ekspor utama, Amerika menyumbang lebih dari 35% total volume ekspor udang RI. Dalam satu bulan sejak pengumuman tarif, nilai ekspor sudah anjlok hingga 28%.

Pukulan ini terasa berat karena industri udang Indonesia sebenarnya sedang naik daun. Menurut data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), ekspor udang mencapai US$ 2,3 miliar sepanjang 2024, dan ditargetkan naik 10% pada 2025. Namun dengan beban tarif sebesar 19%, harga udang RI jadi jauh lebih mahal dibanding kompetitor seperti India, Vietnam, dan Ekuador.

Para pelaku usaha udang, terutama di Jawa Timur, Sulawesi, dan Nusa Tenggara, mulai mengeluhkan pembatalan kontrak dan penurunan permintaan. Beberapa eksportir bahkan mempertimbangkan relokasi pasar ke Eropa atau Jepang. Namun hal ini tentu membutuhkan waktu, adaptasi logistik, dan biaya tambahan.


Ancaman Terhadap Tenaga Kerja & Petambak Rakyat

Lebih dari sekadar angka ekspor, kebijakan ini berpotensi besar menimbulkan efek domino pada sektor ketenagakerjaan. Menurut Asosiasi Produsen Udang Nasional, terdapat lebih dari 1 juta pekerja yang menggantungkan hidupnya di sektor ini—mulai dari petambak, buruh pengolahan, hingga logistik distribusi.

Tarif tinggi akan mengurangi permintaan dari buyer AS. Maka otomatis, produksi akan dikurangi, dan efisiensi akan dilakukan. Efisiensi inilah yang sering berarti pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pemangkasan jam kerja.

Petambak rakyat juga terdampak. Karena mayoritas produksi udang berasal dari tambak skala kecil-menengah, mereka tak punya daya tawar kuat. Harga beli udang dari petambak sudah turun 15% dalam dua minggu terakhir. Jika berlanjut, bukan tak mungkin banyak tambak gulung tikar.

Situasi ini diperparah dengan belum adanya skema subsidi atau stimulus darurat dari pemerintah untuk sektor udang sebagai respons cepat. Di sisi lain, ketergantungan terhadap pasar Amerika sudah berlangsung terlalu lama tanpa diversifikasi yang cukup.


Respon Pemerintah dan Strategi Alternatif

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan dan KKP sudah menyatakan keberatannya. Mereka menyebut kebijakan tarif AS ini tidak adil dan tidak mencerminkan semangat perdagangan bebas. Surat protes resmi telah dikirimkan, dan Indonesia mempertimbangkan membawa perkara ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Selain langkah diplomatik, pemerintah juga tengah menyusun rencana strategis untuk mengalihkan ekspor ke pasar alternatif. Jepang, Uni Eropa, Timur Tengah, hingga Tiongkok disebut sebagai target pengganti. Namun tantangannya bukan cuma soal logistik, tapi juga sertifikasi, preferensi pasar, dan daya saing harga.

Di sisi lain, para pelaku usaha berharap pemerintah segera merilis insentif untuk menurunkan biaya produksi—baik berupa subsidi pakan, pemangkasan biaya logistik, hingga fasilitas pembiayaan ekspor.

Langkah jangka panjang yang lebih penting adalah membangun sistem perdagangan laut nasional yang kuat dan mempercepat digitalisasi rantai pasok perikanan. Indonesia punya potensi luar biasa, namun tanpa sistem pendukung, potensi ini rawan dimanfaatkan oleh negara lain.


Referensi 


Penutup: Jalan Panjang Melindungi Laut & Petani Udang

Kasus ini jadi pengingat bahwa ketergantungan pada satu pasar ekspor bisa menjadi bumerang. Ketika kebijakan proteksionis diberlakukan sepihak, seluruh rantai ekonomi nasional bisa goyah. Indonesia perlu bangkit dari keterkejutan ini dan menata strategi ekspornya lebih adaptif, berkelanjutan, dan berorientasi pasar yang lebih luas.

Petani udang dan pekerja industri perikanan butuh dukungan nyata. Bukan sekadar pernyataan diplomatik, tapi insentif konkret agar mereka bisa bertahan dan terus memproduksi komoditas unggulan Indonesia. Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat luas perlu bersinergi menjaga keberlanjutan sektor ini.